Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PURWODADI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Pwd PAUL CHRISTIAN, S.H., M.Kn. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 23 Mei 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Pwd
Tanggal Surat Senin, 23 Mei 2022
Nomor Surat 0
Pemohon
NoNama
1PAUL CHRISTIAN, S.H., M.Kn.
Termohon
NoNama
1KEPALA KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Adapun yang menjadi dasar dan alasan diajukannya Permohonan Praperadilan ini adalah dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :-
 
I. DASAR HUKUM PRAPERADILAN.
 
1.Bahwa Pasal 1 ayat [3] UUD 1945 menegaskan  “Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi Tersangka, Terdakwa maupun Terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan terhadap HAM [ Vide : Pasal 281 ayat (4) UUD 1945 ].  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [KUHAP] sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak Tersangka/Terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran HAM ;-----------------------------------
 
2.Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP pada hakekatnya dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum [ i.c. Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum]. Koreksi atau pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini PEMOHON. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang pada hakekatnya memberi pengertian bahwa di dalam masyarakat yang berbudaya, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk selalu menjamin hak kemerdekaan setiap orang ;----------------------------------------
 
3.Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh Penyidik atau Penuntut Umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penyelidik, Penyidik atau Penuntut Umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan sebagaimana secara  khusus Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor : 21/PUU-XII/2014, tertanggal 28 April 2015 telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penetapan Tersangka adalah merupakan objek Praperadilan ;------------------------------------------------------------
 
4.Bahwa pengujian keabsahan Penyelidikan, Penyidikan dan penetapan Tersangka melalui lembaga Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang Warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan Penyidik dalam proses penyidikan, sehingga lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan. Tanpa ditetapkan status atau label Tersangka, maka pada dasarnya tidak ada upaya paksa dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari kegiatan penyidik yang akan diikuti upaya paksa yang dapat dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap seorang Tersangka atau Terdakwa. Seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan tanpa adanya keadaan bahwa seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang Warga Negara ;---------------------------------------------------------------------
 
5.Bahwa tujuan Praperadilan dalam menguji keabsahan penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka, pada hakekatnya adalah untuk menjunjung hak asasi manusia dan menjamin hak-hak warga Negara yang dapat diabaikan dan dianggap tidak ada dengan adanya kedudukan sebagai Tersangka, terlebih lagi penetapan sebagai Tersangka tersebut dilakukan tidak menurut hukum. Adanya label Tersangka, mengakibatkan aparat penegak hukum dapat merampas hak asasi manusia yang dilindungi oleh UU Dasar Negara ;-----------------------------------------------------------
 
6.Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal yang dilakukan oleh Hakim. Ini berarti bahwa esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan Penyidik/Penuntut Umum dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka dan mengawasi upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap Tersangka. Pengawasan ini penting untuk mengetahui semua tindakan Penyidik atau Penuntut Umum benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan UU, dilakukan secara profesional dan proporsional, bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau peraturan perundang-undangan lainnya ;--------
 
7.Bahwa dari uraian yang dikemukakan di atas, maka Lembaga Praperadilan dapat dimaknai sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana secara tegas dituangkan dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP yang menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, dan berbunyi :-------------------------------------------------------------
 
(a) “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan UU Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” ;-------------------------------------------
 
(c) “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan UUD 1945”.----------------------------------------------------------------
 
Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6, yang berbunyi :------
 
“.......Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan UU Dasar 1945” ;---------------------
 
8.Bahwa dengan dasar pemikiran di atas, permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atau ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan [ Pasal 77 KUHAP ], juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :--------------------------------------
 
(1)Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan ;--------------------
 
(2)Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ;--------------------------------------------------
 
Ini bermakna bahwa Pasal 95 ayat (1) dan (2) adalah merupakan konsekuensi dari tindakan Penyidik atau Penuntut Umum dalam menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, karena melanggar hak asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang in casu adalah PEMOHON. Oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh TERMOHON menjadi objek permohonan Praperadilan ;------------------------------------
 
9.Bahwa oleh karena Hukum Acara Pidana tidak mengatur secara tegas mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang yang ditetapkan sebagai Tersangka, maka hal itu tidak berarti jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik in casu TERMOHON dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, tidak boleh dikoreksi. Kesalahan tersebut wajib untuk dilakukan dikoreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga Praperadilan. Koreksi ini dilakukan untuk melindungi hak asasi seseorang [Tersangka] dari kesalahan/kesewenangan yang dilakukan oleh Penegak Hukum dalam perkara ini adalah Kejaksaan Negeri Grobogan. Oleh karena itu, Hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan penegak hukum yang melanggar hak asasi manusi hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas. Keadaan ini sesuai dengan peran Hakim dalam “menemukan hukum” [rechsvending] yang diberi tempat seluas-luasnya oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut :---------------------------------------------------------------------
 
Pasal 10 ayat (1) :-------------------------------------------------------
 
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”.--------------
 
Pasal 5 ayat (1) :--------------------------------------------------------
 
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.------------------------------------------
 
10.Bahwa pendapat Hakim berhak dan diberi kewenangan untuk menafsirkan UU demi kepentingan proses peradilan telah dikemukan oleh LIE OEN HOCK dalam pendapatnya yang menyatakan :-------------------------------------------------------
 
“Dan apabila kita memperhatikan UU, maka ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian Hakim harus melakukan peradilan”.--------------------------------------------------------------
 
“Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian UU memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri makanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tak jelas dalam suatu ketentuan UU. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis, baik ‘recht maupun wetshistoris’, secara sistimatis atau secara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum.”-
 
[ Mr. Lie Oen Hock, “Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum”, PIDATO diucapkan pada waktu Peresmian Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Djakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11 ] ;--------------------------------------------
 
11.Bahwa tindakan Penyidik atau Penuntut Umum untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut [penetapan Tersangka] tidak dipenuhi, maka sudah pasti proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan ;------------------------------------
 
12.Bahwa dalam praktek Peradilan, Hakim telah beberapa kali melakukan “penemuan hukum” terkait dengan objek Praperadilan termasuk sah tidaknya penetapan Tersangka. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain ”tidak sah menurut hukum tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka”. Demikian pula Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 04/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel. tanggal 16 Februari 2015, yang secara tegas antara lain : “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”, “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON” ;------------------------------------
 
13.Bahwa beberapa putusan Praperadilan tersebut di atas dapat dijadikan contoh dan dapat dijadikan rujukan atau acuan dan Yurisprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan atas tindakan Penyidik atau Penuntut Umum yang pengaturannya tidak disebutkan secara tegas dalam ketentuan                                    Pasal 77 KUHAP dapat dilakukan oleh Hakim. Putusan Hakim ini diperlukan untuk melakukan koreksi atas tindakan yang salah atau keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Kekeliruan dan kesalahan Penyidik atau Penuntut Umum tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi, sebab apabila kesalahan atau kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia dan mengusik rasa keadilan ;-----------------
 
14.Bahwa dengan adanya penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu PEMOHON, yang dilakukan tidak berdasarkan hukum atau tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang, dalam hal ini PEMOHON untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan penetapan sebagai Tersangka melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak untuk menilai keabsahan penetapan sebagai Tersangka ini sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP, yang kemudian semakin dikukuhkan dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 UU Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi :-----------------------------------------------------------
 
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.-----------------------------------
 
Hal ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi :---------------
 
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”------------------
 
15.Bahwa dengan demikian, mengacu kepada ruh atau asas fundamental KUHAP [perlindungan hak asasi manusia] jo ketentuan Pasal 17 UU HAM jo  Pasal 2 angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU KOVENAN INTERNASIONAL, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang Aparatur Negara dalam hal ini Penyidik/Penuntut Umum melaksanakan ketentuan hukum acara diuji melalui lembaga Praperadilan telah secara sah mengalami perluasan sistematis                                [de systematische interpretatie], terutama berhubungan dengan penggunaan wewenang Penyidik yang berakibat dan bersifat mengurangi atau membatasi hak seseorang seperti diantaranya menetapkan seseorang sebagai Tersangka secara tidak sah dan tidak berdasarkan hukum. Hal ini berarti bahwa pengujian wewenang yang dapat dilakukan terhadap Penyidik atau Penuntut Umum tidak hanya terbatas pada apa yang ditentukan dalam                                         Pasal 77 KUHAP, yaitu :----------------------------------------------- 
 
(a)Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ; dan ;-------------------------------------------------
 
(b)ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan ;---------------------------------
 
16.Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka karena tidak ditegaskan oleh Pasal 77 KUHAP, tidaklah berarti melanggar asas legalitas, sebab asas legalitas yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya berlaku dalam penerapan hukum materiil, sehingga merupakan pikiran sesat dan menyesatkan kalau ada yang menyatakan pengujian keabsahan penetapan Tersangka melanggar asas legalitas. Demikian pula halnya ketika warga negara membela dan mempertahankan hak asasinya dianggap melanggar asas legalitas karena belum ada aturannya. Asas legalitas digunakan untuk mencegah seorang warga negara dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena memang hukumnya belum ada, atau karena tidak ada perbuatan pidana, sebab tidak ada kejahatan yang tidak dapat dihukum seperti yang diancamkan oleh UU terhadap pelanggarnya, sehingga dengan demikian, asas legalitas itu tidak mencegah warga negara menggunakan haknya, meskipun belum diatur secara tegas oleh UU ;---------------
 
17.Bahwa dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor : 21/PUU-XII/2015, tanggal 28 April 2015, maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan Tersangka adalah merupakan objek Praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi :---------------------------
 
“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum” [ Vide : Putusan MK, hal.105-106 ] ; -----------
 
Bahwa oleh karena itu sangat beralasan Praperadilan yang dimohonkan oleh PEMOHON atas tindakan Termohon yang menetapkan PEMOHON in casu PAUL CHRISTIAN, S.H., M.Kn. sebagai Tersangka berdasarkan                                    SURAT PENETAPAN TERSANGKA NOMOR : 02/M.3.41/Fd.1/04/2022, Tanggal 18 April 2022 demi hukum untuk dikabulkan.-------------------------------------------
Pihak Dipublikasikan Ya