Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PURWODADI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2022/PN Pwd SUJIASTUTI DIE TARTA Bin SUJIONO SANTOSO KEPOLISIAN RESOR GROBOGAN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 20 Jul. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2022/PN Pwd
Tanggal Surat Rabu, 20 Jul. 2022
Nomor Surat 0
Pemohon
NoNama
1SUJIASTUTI DIE TARTA Bin SUJIONO SANTOSO
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN RESOR GROBOGAN
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a.Bahwa sebagai tindakan upaya paksa, seperti penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/Terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka
b.Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka ;
2.Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan ;
3.Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c.Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
2.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan ;
d.Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum”(legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini ;
e.Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1.Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY, tanggal 18 Mei 2011 ;
2.Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011, tanggal 17 Januari 2012 ;
3.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel,tanggal 27 november 2012 ;
4.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 15 Februari 2015 ;
5.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015, dan lain sebagainya
f.Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1.Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
g.Sehingga dengan demikian jelas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, dimana Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
II.ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A.PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI TERADU/CALON TERSANGKA
1.Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU- XII/2014, dimana MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai    Pasal 184 KUHAP., Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan, dan penyitaan ;
2.Bahwa Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti ;
3.Bahwa terkait Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan Teradu (calon tersangka)-nya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia) ;
4.Bahwa Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan Teradu/ Calon Tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu ;
5.Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai Teradu/Calon Tersangka. Akan tetapi berdasarkan pada Surat Panggilan untuk pertama kali yang telah diterima oleh Pemohon, yakni Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/222/VII/2021/Reskrim, tanggal 13 Juli 2021, dimana surat tersebut tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai Teradu/Calon Tersangka, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon;
6.Bahwa berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, dimana Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Kententuan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP dengan disertai pemeriksaan Teradu/calon tersangkanya. Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon, dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepolisian Resor Grobogan (Termohon) ;
7.Bahwa dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan Teradu/Calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo ;
B.TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
1.Bahwa dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon terkesan di tutup-tutupi mengenai fakta hukum yang sebenarnya, hal ini terbukti pada Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan nomor; B/34/V/Res.1.11/2021/Reskrim tertanggal 6 Mei 2021, Surat Panggilan Nomor; S.Pgl/222/VII/2021/Reskrim tertanggal 13 Juli 2021 dan Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: B/660/RES.1.11/VII/2022/Reskrim tertanggal 7 Juli 2022 Termohon tidak pernah mencantumkan identitas nama Pelapor dan Termohon tidak menjelaskan melalui resume singkat mengenai kronologi suatu tindak pidana yang dilakukan Pemohon terjadi. Hal ini sangat nyata bahwa Termohon terkesan memaksakan suatu perkara untuk memenuhi unsur Pidana yang di sangkakan kepada Pemohon;
2.Bahwa sebagaimana dalam Surat Panggilan Pertama Nomor: S.Pgl/222/VII/2021/Reskrim, tanggal 13 Juli 2021 Pemohon dipanggil oleh Termohon untuk didengar keterangan sebagai saksi. Selanjutnya dalam surat panggilan tersebut didasari adanya Laporan Kepolisian Nomor: LP/B/36/5/2021/SPKT.Sat.Reskrim/Res.Grob/PoldaJateng, tanggal 6 Mei 2021 sehingga sangat jelas proses pemeriksaan terhadap pemohon yang dilakukan oleh termohon tidak melalui tahap penyelidikan akan tetapi langsung dilakukan proses penyidikan ;
3.Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, Penetapan Tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon, sebagaimana Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/32/VII/2022/Reskrim, tanggal 15 Juli 2022 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/33/VII/2022/Reskrim, tanggal 15 Juli 2022. Dan apabila mengacu kepada Surat Panggilan tersebut, tidak pernah ada Surat Perintah Penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan ;
4.Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Pendapat Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), yang menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum ;
5.Bahwa kemudian lebih lanjut, menurut pendapat Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup”, agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana ;
6.Bahwa menurut Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon ;
7.Bahwa dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan ;C.PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN
1.Bahwa pada sekitar akhir tahun 2019 terjadi pertemuan antara Pelapor dengan orang tua Pemohon yang bernama SUJIONO SANTOSO yang membahas terkait pengelolaan galian C untuk proyek pembuatan jalan Tol. Dimana Pelapor menyampaikan kepada Sujiono Santoso terdapat kendala tidak adanya payung hukum serta izin mengelola galian C tersebut maka Sujiono Santoso mengenalkan Pelapor kepada Pemohon yang merupakan masih anak dari Sujiono Santoso untuk mengurus legalitas pengelolaan galian C tersebut dan Pelapor saat itu juga mensetujui Pemohon untuk mengurus seluruh legalitas pengelolaan galian C yang dimana Pelapor meminta agar izin pengelolaan galian C segera di selesaikan dan istri Pelapor yang bernama Ika Agustin Mulyatiningsih menjadi organ perseroan yang nantinya menaungi pengelolaan galian C tersebut ;
2.Bahwa masih sekitar akhir Tahun 2019 terjadi pertemuan kembali antara Pelapor, SUJIONO SANTOSO, dengan Pemohon dimana terdapat kendala karena segera di butuhkan untuk memenuhi pembangunan jalan Tol, sedangkan Badan Hukum yang menaungi pengelolaan galian C tersebut belum ada, maka di sarankan menggunakan CV orang lain dahulu untuk mengejar waktu pengerjaan proyek Jalan Tol. Pelapor setuju untuk menggunakan CV lain dan disepakati menggunakan CV Masya Ageng, dalam penggunaan CV Masya Ageng untuk menaungi kegiatan penggalian galian C juga telah di setujui dan di sanggupi oleh Suji Astuti Nico Puspita selaku direktr CV Masya Ageng. Telah di informasikan juga karena dalam bidang usaha CV Masya Ageng belum ada bidang usaha Penggalian dan konstruksi maka perlu dilakukan penambahan bidang usaha berupa Penggalian dan konstruksi melalui Notaris Rusdiyono, SH., M.Kn. Notaris PPAT Kabupaten Grobogan ;
3.Bahwa pada akhir Tahun 2019 penambahan bidang usaha CV Masya Ageng melalui Notaris RUSDIYONO, SH., M.Kn. langsung dilakukan dan hal tersebut bersamaan juga pada tahun yang sama di ajukan permohonan izin untuk galian C yang berada di daerah Dusun Banger Desa Karanganyar Kecamatan Karang Rayung Kabupaten Grobogan yang di urus oleh Pemohon bersama staff dari CV Masya Ageng yang bernama Susalit Krigiyono ;
4.Bahwa biaya izin galian C yang berada di daerah Dusun Banger Desa Karanganyar Kecamatan Karang Rayung Kabupaten Grobogan di biayai oleh 3 pihak yaitu:
1. PELAPOR memberikan dana sebesar Rp. 85.000.000,- (Delapan puluh lima juta) ;
2. TUTIK EKOWATI memberikan dana sebesar Rp. 75.000.000,- (Tujuh puluh lima juta) ;
3. SETIAWAN JOKO PURWANTO memberikan dana  sebesar Rp. 185.000.000,- (Seratus  delapan puluh lima juta);
Total Biaya Pengurusan Izin Galian C tersebut adalah sebesar Rp. 345.000.000,- (Tiga ratus empat puluh lima juta rupiah) ;
5.Bahwa pada tanggal 8 Mei 2020 telah turun Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Tengah Nomor 543.32/4153 Tahun 2020 tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan (Tanah Urug) Kepada CV Masya Ageng ;
6.Bahwa setelah adanya perijinan-perijinan, yang meliputi izin usaha pertambangan yang telah di berikan Kepada CV Masya Ageng. Kemudian dibuatlah Perjanjian Kerjasama Tanah Urug/ Galian C, tanggal 15 Juni 2020, dimana perjanjian tersebut dibuat oleh:
1.SUJI ATUTI NICO PUSPITA sebagai Pihak Pertama (Bertindak selaku CV.Masya Ageng)
2.KUSDI sebagai Pihak Kedua ;
3.IKA AGUSTIN MULYATININGSIH sebagai Pihak Ketiga ;
4.TUTI EKOWATI sebagai Pihak Keempat ;
5.NURLATIFAH FATIM sebagai Pihak Kelima ;
Dalam hal ini para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri untuk mengadakan perjanjian kerjasama dalam suatu usaha pengelolaan lahan tanah urug di Dusun Banger, Desa Karanganyar, Kecamatan Karang Rayung, Kabupaten Grobogan ;
7.Bahwa dalam perjanjian tersebut jelas menerangkan pada Pasal 1 Pihak Pertama yang memiliki Hak Eksplorasi Izin Usaha Penambangan Operasional Produksi Tanah Urug Galian C atau Pertambangan di Dusun Banger, Desa Karanganyar, Kecamatan Karang Rayung, Kabupaten Grobogan, sedangkan Pihak Kedua, Pihak Ketiga, Pihak Keempat dan Pihak Kelima sebagai Investor yang mendanai usaha pertambangan operasional produksi tanah urug di Dusun Banger, Desa Karanganyar, Kecamatan Karang Rayung, Kabupaten Grobogan ;
8.Bahwa perlu di ketahui karena suatu jabatan dan pekerjaan Pelapor yang tidak memperbolehkan melaksanakan bisnis, sehingga Pelapor menggunakan atas nama istrinya yang bernama IKA AGUSTIN MULYATININGSIH untuk masuk ke dalam Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Galian Tanah Urug/ Galian C yang di sebut sebagai Pihak Ketiga ;
9.Bahwa sekitar Bulan Juni 2020 diketahui Pelapor tanpa melalui CV Masya Ageng sebagai Pihak Pertama dalam Perjanjian yang memiliki Hak Eksplorasi Izin Usaha Penambangan Operasional Produksi Tanah Urug Galian C atau Pertambangan di Dusun Banger, Desa Karanganyar, Kecamatan Karang Rayung, Kabupaten Grobogan telah melakukan penambangan tanpa melibatkan CV Masya Ageng dan dalam Penambangan yang dilakukan oleh Pelapor meninggalkan tagihan pembayaran tanah warga atau iuran desa dengan total sebesar               Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah). Hal tersebut diketahui ketika CV Masya Ageng akan melakukan kegiatan penambangan di Dusun Banger, Desa Karanganyar, Kecamatan Karang Rayung, Kabupaten Grobogan, warga desa dan pihak kantor desa beranggapan kegiatan penambangan tidak dapat dilaksakan selama tunggakan pembayaran tanah warga atau iuran desa belum dibayarkan.Dengan pertimbangan agar bisnis tetap dapat berjalan sesuai isi perjanjian maka pihak CV Masya Ageng melunasi seluruh tunggakan iuran yang di sebabkan oleh pelapor sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) yang dilunasi pada tanggal 28 Mei 2021 ;
10.Bahwa berdasarkan uraian yang telah di uraikan diatas secara nyata merupakan gambaran fakta hubungan Keperdataan yang terjadi, dimana Pemohon telah memenuhi prestasinya menyelesaikan Izin Penambangan sesuai permintaan Pelapor dan dalam hal ini sangat jelas apabila terjadi sengketa hukum Pelapor bukanlah orang yang berhak melakukan upaya hukum karena Pelapor bukan merupakan pihak yang di akui dalam perjanjian. Dan dapat dijelaskan dan dipahami perbedaan antara Wanprestasi dengan Penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Sedangkan Penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana)    (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan Penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dll.
11.Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara Pemohon dengan Pelapor diikat melalui perjanjian secara lisan yang sama-sama beritikat baik untuk memenuhi Perjanjian, tidak ada maksud melakukan Penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan ;
12.Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
D.PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1.Banwa Negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan ;
2.Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian, dimana hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
3.Bahwa menurut pendapat Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’ ;
4.Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas) ;
5.Bahwa dengan bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan, sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
-ditetapkan oleh pejabat yang berwenang ;
-dibuat sesuai prosedur; dan
-substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
6.Bahwa kemudian sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah” ;
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan ;
7.Bahwa berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana, mekanisme penyidikan di langsungkan sebagai berikut :
1.Setelah surat perintah penyidikan diterbitkan dibuat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP ;)
2.SPDP dikirimkan ke penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor dalam waktu 7 hari setelah diterbitkan surat Perintah Penyidikan ;
3.Jika tersangka ditetapkan setelah lebih dari 7 hari diterbitkan surat perintah penyidikan, dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka dengan dilampirkan SPDP sebelumnya ;
4.Apabila penyidik belum menyerahkan berkas perkara dalam waktu 30 hari kepada jaksa penuntut umum penyidik wajib memberitahukan perkembangan perkara dengan melampirkan SPDP.
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh prosedur yang tidak benar dan terlalu tergesa-gesa, dimana faktanya Termohon telah menerbitkan SPDP Nomor: B/34/V/Res.1.11/2021/Reskrim, tanggal 6 Mei 2021, yang notabene Pemohon belum ditetapkan sebagai Tersangka, dan Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Pemberitahuan sebagai tersangka Nomor B/660/Res.1.11/VII/2022/Reskrim, tanggal 7 Juli 2022, maka tindakan yang dilakukan oleh Termohon dengan menerbitkan SPDP sebelum adanya Penetapan Tersangka, dimana perbuatan Termohon tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum dan sangat bertentangan dengan Peraturan Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Mekanisme Penyidikan, sehingga dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwodadi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan Penetapan Tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
E.TENTANG TIDAK SAHNYA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA KARENA TIDAK BERDASAR KEADILAN PANCASILA;
1.Bahwa sila ke-2 Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, memiliki makna bahwa tugas hukum Indonesia adalah dalam rangka merawat kemanusiaan. Usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik dalam hal kemanusiaan semesta, terderivasi menjadi seruan untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan. Keharusan merawat nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban memberi dasar normatif bagi hukum Indonesia untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan disatu sisi dan bertindak adil dan beradab disisi yang lain ;
2.Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan ‘’Indonesia adalah Negara Hukum’’. Dimana dalam penegakan hukum di Indonesia ketentuan pasal tersebut telah terimplementasi dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila’’, sehingga setiap proses penegakan hukum di Negara Indonesia wajib untuk didasarkan atas hukum dan keadilan yang berlandaskan Pancasila ;
3.Bahwa dengan demikian manusia Indonesia (termasuk Penegak Hukum), tidak boleh sembarangan dan serampangan dalam membentuk pola pikir, sikap dan perkataan, serta tidak diperbolehkan untuk asal menghukum dan mencari-cari kesalahan orang tanpa mau mengetahui sisi lain kehidupan terdalamnya. Dalam hal ini pula, Negara tidak boleh membentuk pola pikir untuk menghukum warganya dengan mencari-cari sedemikian rupa kesalahannya, karena Negara hadir untuk mendidik dan membina warga negaranya, maka yang dikedepankan adalah contoh dan teladan, bukan asal menghukum selagi ada pasal yang cocok untuk diterapkan baginya. Terlebih Negara hadir bukan hanya untuk menghukum tetapi untuk mendidik, sehingga Negara harus memikirkan dampak negatif yang lebih besar apabila asal menghukum tanpa pertimbangan keadilan dan kemanusiaan ;
4.Bahwa berhubung setiap irah-irah Putusan YANG MULIA HAKIM didasarkan pada “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang mengindikasikan adanya Invacatio Dei (Mengundang TUHAN dalam menjatuhkan Putusan), maka setiap Putusan yang dikeluarkan oleh Yang Mulia Hakim mengamanatkan secara implisit dalam menjatuhkan Putusan tidak boleh hanya memberikan pertimbangan hukum semata. Tetapi juga harus melihat sisi keadilan yang berdasarkan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila tidak pernah mengajarkan bagaimana cara menghukum, tetapi bagaimana cara menjadikan manusia sebagai manusia dan bagaimana cara menjadi manusia beradab sebagai citra Allah di muka bumi. Tidak semua kejahatan dan pelanggaran harus diselesaikan dengan hukuman tetapi dapat pula diselesaikan dengan keadilan melalui didikan, contoh, dan teladan dari negara. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
“Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.”
5.Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, maka PEMOHON dengan penuh kerendahan hati, Mohon kepada Yang Mulia Hakim Praperadilan untuk menyatakan tidak sah dan memerintahkan PARA TERMOHON untuk membatalkan Penetapan Tersangka atas nama PEMOHON dalam Laporan Polisi Nomor : LP/B/36/V/2021/Jateng/Res Grob/Polda Jateng, tanggal 06 Mei 2021 ;
6.Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka terbukti secara sah dan meyakinkan Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka yang dilakukan  TERMOHON adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sehingga patut, pantas dan layak Yang Mulia Hakim Praperadilan untuk menyatakan tidak sah dan membatalkan Surat Penetapan Tersangka atas nama SUJIASTUTI DIE TARTA Bin SUJIONO SANTOSO ;
7.Bahwa dengan demikian, apabila terhadap perkara tindak pidana a quo akan dilakukan proses Penyidikan, maka sah secara hukum proses Penyidikan tersebut haruslah dimulai dengan proses Penyelidikan (vide Pasal 1 angka 5 KUHAP) ;
8.Bahwa Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dibuat agar setiap Aparatur hukum tidak menggunakan kekuasaan dan kewenangan yang diberikan Peraturan Perundang-Undangan secara sembarangan kepada seluruh Rakyat Indonesia sebagai Raja di rumah Indonesia ;
9.Bahwa untuk menghindari kesewenangan Aparatur Penegak Hukum yang memiliki kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan ruang keadilan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan melalui proses praperadilan yang dipimpin oleh YANG MULIA HAKIM PRAPERADILAN ;
10.Bahwa Rumah Pengadilan ini merupakan tempat yang dipercaya PEMOHON dapat mengungkapkan kebenaran secara terang benderang guna melahirkan keadilan dalam rimba penegakan hukum Indonesia di bawah terang dan bimbingan serta keputusan YANG MULIA HAKIM PRAPERADILAN.
III. PETITUM
Berdasakan pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwodadi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.Menyatakan dan  mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.Menyatakan Tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepolisian Resor Grobogan Unit 1 (satu) Reserse Kriminal Umum adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon ;
4.Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon ;
5.Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
6.Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Atau
Apabila Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Purwodadi di Grobogan yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya